mimpi-target-muluk-muluk

Hari ini gue pulang bareng temen gue, tiga hari yang lalu dia baru pulang dari sebuah diklat tentang studi ekonomi Islam. Setelah bercanda-canda tentang hal-hal nggak penting dan sedikit-sedikit ngomongin orang dia ngomong hal yang sedikit mengusik “hati dan pikiran”,, alahhhh,,, lebay.

It starting from our discussion about our friend in class who has a target for being merriage in seven years later..

Bagaimana bisa kita tahu dia mau nikah pada tahun 2015 adalah dia itu menempelkan semua target hidupnya pada sebuah sterefoam yang tertempel di kamarnya. Kebetulan temen pulang gue ini satu kamar sama dia di kontrakan deket kampus.

Temen gue itu ngomong, “Gue pengen liat nanti 2015. Bakalan kayak apa?”
Gue nggak jawab apa-apa. Gue Cuma bisa jawab dalam hati. Ya nggak bakal ada apa-apa. Kalau dia bakal nikah, ya berarti sesuai target. Kalau belum nikah ya berarti belum ada jodoh. Jodoh kan perkara Tuhan, manusia Cuma bisa usaha. Yang jadi sumber permasalahan adalah temen gue ini bilang kalau itu gagal.

Bagi gue itu bukan gagal. Cuma tertunda. Kita bisa menetapkan target. Berusaha mencapai, tapi mungkin saja kan ada yang namanya faktor “eksternal”.
Terus gue bercanda sedikit kalau gue nggak mau cari kerja, tapi bikin lapangan kerja dan satu hal lagi gue bilang, gue nggak tertarik jadi PNS.

Lalu temen gue menanggapinya dengan bercerita tentang salah satu dosen yang jadi pemateri di diklat itu. Dosen itu berkali-kali pindah-pindah kuliah. Rata-rata semua kampus ternama negeri ini dia coba masukkin. Lalu akhirnya dia terdapampar di sebuah universitas Islam negeri dan ngambil studi ekonomi syari’ah. Si dosen itu bercerita kalau dia itu nggak mau jadi PNS karna kedua orang tuanya PNS dan punya impian buat bikin lapangan kerja atau jadi bos atau jadi owner, tetapi kenyataan berkata lain. Dia sekarang jadi dosen PNS dan mungkin saja dia “terlihat sukses”.

Terus temen gue bilang gini ke gue. “Ah lu mah kena doktrin tentang mainset abis kuliah bikin lapangan kerja. Hidup mah mengalir. Jangan pasang target muluk-muluk.”

Kali ini gue tertawa dalem hati, karna nggak enak. “WHAHAHAHAAHAHa……..”

Gue kena doktrin? Hahahaha… kalau iya emang kenapa? Gue yakin doktrin itu baik kok. Kenapa gue nggak turutin. Kalau bagi gue, doktrin yang dikasih sama si Dosen itu justru yang sesat. Bagaimana mungkin seorang praktisi pendidikan mengajarkan untuk mahasiswanya tidak menjadi seseorang, atau jadi bisa dibanggakan. Bagaimana mungkin membiarkan mahasiswanya itu berpikir bahwa hidupnya berserah pada nasib yang menjemput? Tanpa ekspektasi? Sebegitu skeptisnya kah?

Kalau bagi gue proses sesuatu menjadi target itu dimulai dari mimpi. Kemudian mimpi itu menjadi target. Kalau kita tidur dan bermimpi, terus kita bangun dan berlari untuk mewujudkannya itu baru namanya proses mencapai target. Gue selalu percaya, orang yang punya mimpi dan berusaha bangun dari mimpi buat mewujudkan adalah orang sukses.

Kalau diri kita tidak dijinkan untuk bermimpi nggak mungkin kan, suara merdunya mba Anggun C. Sasmi bisa terdengar di banyak negara-negara Eropa. Anggun selalu bilang, bahwa mimpi itu penting dan bangun untuk mewujudkannya itu jauh lebih penting. Tentunya semua udah pada denger lagunya yang berjudul “MIMPI” kan?

Terus, apa mungkin seorang Andrea Hirata bisa sebesar ini jikalau dia sama sekali tidak bermimpi? Mimpi keliling eropa, mimpi untuk laskar pelanginya. Lalu, apa kah mungkin seorang Dewi Lestari bisa membius banyak orang lewat kata-kata kalau dia nggak punya mimpi dan imajinasi?

Tentunya ketiga orang itu sebagian kecil dari orang-orang sukses yang punya mimpi sama daya juang. Tentunya mereka semua punya target dalam hidup mereka. Mereka bekerja keras. Mereka berusaha, dan mimpi mereka besar. Yang pasti adalah mereka pasti menemukan kegagalan, frustasi, nggak mencapai target, tapi apa mereka berhenti?

Gue bertanya, apa yang harus mengalir. Air itu mengalir. Jelas hal itu terjadi, karna air punya tujuan dan alur yang tepat. Tujuannya mungkin laut, danau, kembali ke tanah, dan mungkin ke Sungai yang lebih besar. Alurnya jelas yaitu dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Entah air itu jadi comberan atau banjir, itu kan karna faktor eksternal. Drainase-nya buruk, manusia buang sampah sembarangan, dam yang jebol, dll.

Nah kalau kita? Apa mungkin kita mengalir tanpa alur sama tujuan? Hahahahaha,, bagian mana yang mengalir dan nggak muluk-muluk.

Mungkin suatu saat gue jadi PNS atau jadi pekerja biasa, gue enggak menampik kenyataan itu, karna gue manusia yang percaya takdir. Tapi bagi gue itu perkara lain, I’m doing my best right know to get what I want, next I will be something or not, it just a later. I’m just trying my best. Apa itu salah? bagian mana yang muluk? hayooo.....

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Dia yang menjadi ibu


Senyum merekah tiba-tiba dari pipinya. Ibu-ibu dengan dua anak itu berlalu melewati kami Rata Penuhberdua. Aku menatapnya curiga. Aku yakin dia memikirkan sesuatu. Pikiran kami sama. Dia menatapku.

“Kamu pikir aku akan menangis?”

Ya aku berpikir begitu. Kamu sudah seharusnya menangis dari beberapa tahun yang lalu. Kamu sudah seharusnya butuh bahuku untuk bersandar sejak pertama kali kita bertemu. Tubuh mu terlalu mungil untuk menahan semua beban itu. Aku heran, bagaimana mungkin kamu kuat untuk menahan tangis dengan postur kurusmu. Kamu seharusnya menangis dan butuh aku.

“Kamu tak akan pernah melihatku menangis. Air mata ini hanya jadi milik aku.”

“Sebegitu personal kah?” tanyaku penasaran.

Dia mengangguk ceria. Lalu menepuk agak keras punggungku. “Waktu makan siang kita habis. Bukankah seharusnya kita pulang?”

Aku tidak ingin pulang. Aku ingin disini. Dalam momen ini. Ketika kita pulang, kamu mungkin tak akan pernah kembali lagi ke dalam renungan indah kita. “Ya memang sudah waktunya kita pulang.” Aku tersenyum perih padanya.

Kami berjalan meninggalkan meja di sudut ruangan. Dulu aku tidak begitu yakin restoran ini romantis, tapi keromantisan ini ternyata bukan datang dari tempat tapi dia yang berjalan disampingku. Yang selalu berjalan cepat, yang selalu tersenyum indah pada ku, dan dia yang selalu aku nantikan.

Hari ini aku pikir akan melihat keajaiban itu. Buih air mata yang kiranya sudi terlihat dihadapanku. Ternyata dia tetap kuat, dia tetap tidak ingin terlihat sedih didepan mataku. Dia tetap sama. Dia tetap dia seperti pertama aku bertemu dengannya tiga tahun yang lalu. Optimis, mungil, dan ceria.

Dia biasa, semua orang menilai seperti itu. Tetapi bagiku tidak. Mutiara kelam itu hanya bersinar ketika aku menatapnya lekat dan mengajaknya bercerita. Aku jatuh cinta padanya itu yang ku tahu. Suatu ketika dia bercerita tentang dirinya. Dia anak tunggal. Dia piatu. Dia hidup sendiri. Ayahnya sudah sangat tua dan yang terakhir dia tak pernah punya gambaran apa pun tentang ibunya.
Ibunya telah lama pergi. Meninggal ketika melahirkannya. Yang dia tahu ibunya tersenyum ketika dia pertama kali meneriakan tangisannya di muka bumi. Itu pun cerita dari ayahnya. Ibunya sama sekali tak meninggalkan apa-apa untuknya. Bahkan sehelai foto untuk menggambarkan wajahnya. Itu misteri kehidupan, dia selalu membisikkan kata itu padaku.

Dia sering bercerita tentang kerinduan pada ibunya. Aku tak pernah berpikir untuk rindu pada seseorang yang wajahnya tak pernah ada dalam kehidupanku, tapi dia bisa. Aku bisa merasakan getar kerinduan itu. Dia sering bercerita pada ku bahwa dia memimpikan “ibu”. Aku bertanya bukankah itu bagus, kamu bisa melihat wajahnya. Dia hanya menjawab, aku hanya bisa merasakan getar kasih sayangnya. Indera penglihatan ini tiba-tiba kabur, aku hanya bisa merasakan bahwa itu ibu. Aku berhenti bertanya, karna aku tidak bisa menerima apa yang dia ucapkan tapi merasakan apa yang dia pikirkan.

Aku sedih atas dia dan atas kehidupanku. Betapa sering aku menyia-nyiakan kesempatan untuk bertemu dengan ibu dengan alasan berbagai kepentingan, padahal di sisi yang lain dia yang kucintai tak pernah punya kesempatan itu.

Di suatu kesempatan dia pernah berkata pada ku. Waktu itu kami sedang berkutat di tengah kemacetan kota yang tentunya luar biasa. Aku stress bukan main. Aku terus mengumpat dan mengeluh. Dia hanya tersenyum menatapku dan memalingkan pandangan. Tiba-tiba dia berkata, “Aku sangat ingin menjadi ibu.”

Kata-katanya merusak konsentrasi menyetirku. Aku menatap apa yang ia tatap. Dipinggir jalan, ada seorang ibu-ibu pengemis yang terus menyuapi anaknya. Aku menghela nafas pelan. Berada di sampingnya dan melihatnya melamun begitu menguras energiku. Karna dia adalah pusat gravitasi dan aku hanya planet yang tanpa lelah mengitarinya. “Dia tidak sayang pada anaknya.” Kataku cerpat dan tegas.

“Maksud kamu?”

“Mana ada ibu yang tega mengajak anaknya menjadi pengemis. Siang ini begitu panas. Tidak kah dia menyadari bahwa panas terik dan polusi berbahaya bagi anaknya.”

“Aku tidak perduli dia pengemis atau siapa. Dia tetap saja ibu. Ibu yang ingin anaknya makan. Ibu yang ingin anaknya tidak mati kelaparan.”

Kembali lagi aku menjadi orang yang sama. Orang yang tak pernah membantahnya bila berhubungan dengan cinta kasih. Aku dulu benci dengan orang yang amat humanis, tapi mengapa aku begitu mencintai kehumanisan dia. Humanis dan dia merupakan satu paket, dan aku begitu menginginkan paket itu utuh apa adanya. Kontradiksi itu misteri alam, seperti katanya.

Pada suatu tengah malam dia meneleponku. Kalau bukan dia, mungkin sudah aku marahi. Aku benci istirhatiku diganggu. Tapi ini beda.

“Aku bermimpi.” Katanya semangat.

Aku menguap ngantuk, “Ibu lagi?”

“Iya, kali ini ibu berbicara pada ku.”

“Terus?” Jawabku asal.

“Ibu bilang, aku sedang jatuh cinta.”

Aku terperanjat dari tidurku. Bersusah payah aku mengembalikan nyawa bangun tidurku, kini dengan segera kau cabut hanya dengan sedikit ucapanmu, meninggalkan raga tak berasa. Letupan itu begitu dasyat hingga aku bingung harus berkata apa. Kosakata yang teringat di otakku hanya satu, “Lalu?”

“Kamu tahu siapa orangnya?”

Teriakan-teriakan sudah banyak tertahan di jurang bibir tapi tak ada satu kata pun yang berdesis. Hanya ada aku dan dia dalam keheningan sesaat yang pelan tapi mengiris. Apakah dia tidak bisa merasakan getar itu. Apakah frekuesi seluler ini tidak cukup mengirimkannya. Berapa banyak hal yang harus aku korbankan agar getar ini terasa olehnya. Dia perlu jawaban dan aku tidak ingin menjawab. Apakah ini adil?

“Menurut kamu?” hanya kata-kata itu yang mampu aku ucapkan. Antrian kata yang ingin terucap tiba-tiba saja lenyap hilang tak bersisa. Lagi-lagi keheningan yang ada, sekarang entah mengapa aku benci keheningan dan hembusan nafas.

“Kenapa harus pertanyaan dengan pertanyaan, bukan dengan jawaban.”

Karna hanya itu yang mampu aku jawab. Kemampuan ini telah mencapai batasnya. Aku sudah menyelam hingga palung terdalam untuk menjawabnya, tapi aku tidak menemukan apa-apa. Hanya ada kegelapan yang terasa kekal. Aku takut untuk menyelam lebih dalam lagi. Aku takut tidak bisa kembali dan bertemu kamu, matahari yang bersinar dipagi hari.

“Itu misteri alam, seperti katamu. Aku tidak punya kapasitas untuk menjawabnya. Aku bukan Tuhan.”

Jerat itu sedikit lepas lepas. Aku seperti bernafas lega setelah serbuan asma menyerang .

“Ya kamu benar. Ini misteri alam. Kamu bukan Tuhan. Kamu ya kamu.”

Pertanyaan itu begitu membekas hingga kini. Dia sedang jatuh cinta. Aku sedang jatuh cinta. Tidakkah persamaan diantara kami bisa membuat kami berada di jalan setapak yang sama. Aku benci ketika aku harus membayangkan kenyataan. Aku membenci sebuah realitas tentang magnet dan kutubnya. Kutub senama akan terus dalam keadaan tolak menolak. Apa kah mungkin aku dan dia berada dalam kutub yang sama karna kami sama-sama sedang jatuh cinta.

Seminggu yang lalu aku mengajaknya bertemu dengan ibuku. Aku tak bermaksud mengenalkan dia sebagai pacar, tetapi ibuku selalu menganggap dia itu pacarku. Dia tampak sangat bahagia ketika ibu mengajarinya membuat tiramisu kesukaanku. Ibu menyukainya. Aku sudah meyakini itu akan terjadi. Senyum tulus yang dia berikan kepada ibu tentunya sanggup melelehkan pantangan ibu yang melarang anaknya membawa perempuan ke rumah sebelum ada kepastian. Kepastian tentang pernikahan tentunya.

“Pamali.”

Ibu selalu mengatakan hal itu. Pamali tak berarti bagi dia. Kedatangannya dengan sukses mendobrak pakem yang selama ini ibu anut. Aku bangga padanya. Aku bangga karna aku mencintainya.

Setelah prosesi pembuatan tiramisu itu selesai. Kami bertiga berkumpul ditaman belakang. Dia sangat mengagumi tanaman-tanaman ibu. Ibu pun dengan semangat memberikan penjelasan-penjelasan tentang tanaman-tanaman tersebut. Aku heran dengan kelakuan ibu kali ini, biasanya ibu memperlakukan taman tersebut sebagai konservasi hutan nomor wahid. Dimana dilakukan proteksi berlebihan terhadap tanaman-tanaman tersebut, baik untuk orang lain atau keluarganya sendiri. Aku tidak mengerti, kenapa dengan tulusnya ibu membiarkan dia menyentuh helai-helai daun, kelopak-kelopak bunga yang bermekaran, hingga kaktus-kaktus yang berduri tajam.

Hal terakhir yang dia lakukan dari pertemuan itu adalah dia bertanya pada ibu, sudikah ibu bila dianggap ‘ibu’ olehnya. Ibu tersenyum manis dan menjawab dengan tulus tentu saja. Aku hanya bisa tersipu malu pada saat itu.

Diperjalanan pulang dia memberi tahuku betapa bahagianya hari ini. Betapa berterima kasihnya dia pada ku. Dia bertanya pada ku, akankah aku keberatan kalau dia menganggap ibuku sebagai ibunya. Tentu saja aku menjawab tidak akan keberatan.

Dia bertanya kembali pada ku, “Kenapa kamu membawaku pada ibumu. Bukankah kamu pernah bilang, ibu mu terlalu konservatif dengan aturannya?”

“Aku hanya ingin membagi apa yang aku rasakan. Aku tidak perduli ibu akan memarahiku atau apa lah, aku hanya ingin berbagi dengan mu.” Kataku serius. “Aku sendiri bingung, kenapa ibu terlihat begitu menyukaimu?”

Dia mengangkat bahu tanda tidak tahu. Kamu tak perlu menjawab, aku sudah tahu jawabannya. Kamu spesial. Itu saja.

Kalau aku dijinkan bertanya, boleh kah aku bertanya mau kah kamu suatu saat kelak menjadi ibu dari anak-anakku. Lagi-lagi pertanyaan itu hanya menjadi gumpalan besar yang tertahan dalam hati. Yang menohok kedalam dan menyisakan sesak yang amat terasa.

Dia tak bisa bela diri karate, dia tidak punya indera ke enam, dia juga tidak punya pelindung makhluk halus untuk melindunginya dari apapun, dan yang pasti dia tidak memiliki kapasitas untuk membuatku takut atas kemampuannya. Lalu, kenapa aku begitu takut padanya. Aku begitu ingin dia tahu, aku begitu ingin dia menyadari, tapi aku takut semuanya akan berubah.

Entah mengapa dalam diri laki-laki dewasa berusia dua puluh delapan tahun ini, terdapat pemikiran anak SMP yang baru jatuh cinta. Aku tak mampu berkata banyak tentang perasaan dihadapannya. Aku terlalu takut ketika dia tahu, dia akan meninggalkan ku karna melukai komitmen kami sebagai teman. Aku takut semuanya berubah.

Pemikiran-pemikiran itu terus saja hinggap dan mendarah daging di diriku. Tetapi aku lelah, ketika aku terus saja berpura-pura, aku harus berubah. Maka kali ini aku beranikan diri untuk melangkahkan kaki mengajaknya pergi ke suatu tempat.

Dia berada tepat disampingku dengan mata tertutup sapu tangan dan tangan terikat. Aku sibuk membagi konsentrasi antara menyetir dan menatap raut muka yang penasaran. Dia terus saja bertanya, “Mau kemana?”

“Aku sarankan pada mu untuk berhenti bertanya karna aku tidak akan memberikan jawabannya.”

“Kenapa tanganku harus terikat? Ini penculikan atau bercanda?”

“Bukan kedua-duanya. Ini kejutan dan tangan mu terlalu liar, jadi harus diikat. Aku yakin kamu akan terus berusaha membuka penutup mata itu dengan tangan liar mu itu.”

“Kamu kan tahu, aku tidak suka kejutan.”

Aku diam. Dia juga diam. Aku tidak perduli kamu suka atau tidak. Aku sudah berusaha keras untuk hari ini. Entahlah kamu terkejut atau tidak, kamu memilih untuk bahagia atau memakiku, aku hanya ingin mengucapkannya bersamaan dengan momen yang indah dan tidak biasa.

Kami tiba di tempat itu. Aku menuntunnya masuk ke dalam. Pelan aku membuka ikatan tangannya dan membuka penutup matanya. Dihadapannya ada sekitar 10 anak bayi yang sedang lucu-lucunya. Dia bingung apa yang aku lakukan.

“Kamu selalu bilang pada ku bahwa kamu ingin menjadi ibu. Hari ini kamu akan menjadi ibu sehari. Bukan hanya satu anak, tapi sepuluh anak. Jadi hari ini kamu mendapat tugas untuk membantu merawat sepuluh bayi ini.” Dia terdiam.

“Kamu kenapa diam?” aku bertanya curiga, dia menatapku lekat. “Bayi-bayi ini adalah bayi-bayi yang dibuang oleh orang tua mereka, di tinggal di rumah sakit, dan ada yang menyerahkan langsung ke yayasan ini. Yayasan ini khusus menampung bayi-bayi terlantar.”

Aku berjalan menghampiri suster yang kebetulan ada diruangan itu. “Sus di mobil saya sudah menyiapkan sedikit susu, makanan bayi, selimut, dan baju-baju. Nanti saya akan memberikan langsung pada suster.”

Tiba-tiba ada kejutan untuk diriku sendiri. Dia memelukku dari belakang. Aku merasakan kepalanya bersandar dibahuku. Aku berbalik dan ternyata dia, menangis. Aku sama sekali tidak menyangka dia sudi memperlihatkan air matanya di depan ku.

“Kamu menangis?”

Lalu dia tersenyum, “tidak kah kamu mengerti apa yang aku rasakan. Ini bukan hanya kejutan, ini sangat berarti buatku. Kamu orang yang kupilih untuk air mata ini. Ini sudah ibuku katakan dalam mimpi.”

Aku mencoba menyeka air matanya. Mata itu sungguh bening, kali ini aku bukan hanya diberi kesempatan untuk menyaksikan dia menangis tapi juga diijinkan menyeka air matanya, membelai halus rambutnya. “Maksud kamu?”

“Ibu berkata dalam mimpi, bahwa kamu lah orangnya. Ibu berkata aku telah jatuh cinta pada mu.”

“Lalu kenapa kamu lalu bertanya pada ku tengah malam itu? Tidak kah itu aneh.”

Senyumnya kian melebar. “Aku takut kamu berubah ketika kamu harus tahu.”

Aku tidak menyangka. Sekarang kami berdiri di satu titik yang sama. Tidak ada kutub utara atau kutub selatan. Tidak ada hitam atau putih. Hanya ada kita. Kejutan ini bukan hanya kejutan bagi dia, kejutan ini membuatku terkejut. Perasaan kami sama, ketakutan kami sama, dan pikiran kami sama tetapi ternyata kesamaan itu lah yang harus menahan itu semua.

Kini aku dan dia resmi bergandeng tangan. Aku tidak mengatakan bahwa aku mencintainya. Ketidak ekspresif-an ku lah yang diyakini dia bahwa aku terlihat spesial. Aku merasa aku tidak perlu mengatakannya, karna aku tidak mau kata itu sebagai kata biasa yang begitu mudah terlontar dari manisnya lidah. Aku mau kata itu selalu ada di hati, bukan jurang bibir. Aku mau kata itu yang terus memotivasi ku untu selalu ada untuknya.

Tak kusangka aku melakukan ini semua. Tanpa harus terbata-bata mengucapkannya. Tanpa harus keringat dingin, karna dia dan aku sekarang resmi menjadi cermin. Aku cermin baginya, dan dia cermin bagiku. Kami akan memantulkan apa adanya kami. Memantulkan cinta yang utuh tanpa kiasan atau hiasan apapun.

“Kamu mau bantu aku merawat kesepuluh anak ku?”

Tentu saja.


11 jan 09

P.s :
ini sebenernya cerita yang selama 3 minggu nangkring di folder my document gue,, akhirnya malem ini bisa diselesaikan,, namanya juga iseng,, maaf kalau jelek,, masih belajar..


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

2012...

ada banyak berita yang bilang bahwa akan terjadi kiamat di tahun 2012.. dari ramalannya para ilmuan,, pakar ini itu... sampe mama laurent ikut2an... gokil nggak tuh...
katanya 2012 bakal ada banjir gede, badai matahari, pergeseran kutub, dll....

jujur gue disini bukan mau mengomentari itu bener atau nggak cuma lagi berandai-andai aja... kalau emang 2012 itu bener2 terjadi.. gue cuma lagi berpikir tentang seseorang.. yaitu "IBU" gue..

jujur sampe sekarang gue ngerasa belum bisa ngasih apa-apa buat dia.. gue cuma bisa mengeluh ini itu.. cuma bisa ngerengek, cuma bisa minta,, cuma bisa nyusahin...
jadi kalo dipikir2.. waktu gue buat bisa bahagiain nyokap itu kurang dari 3 tahun...

di blog ini gue cuma pengen bilang.. kalo gue sayang banget sama ibu gue.. titik.

P.S:
Sorry ini postingan pendek tapi penting buat gue. karna gue nggak tahu lagi mau nulis apa.. saking gundah gulananya gue.. udah berminggu-minggu gak ketemu nyokap..

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

reflecting new year evening...




As u know, the new year evening has been held by million people all over the world four days ago. When the New Year evening was come, I’m just asking to my self. Should I be them? Go out all over night, riding a motorcycle, hang out in the park to celebrating the new year evening,, take in a fireworks image in my eyes.. Off course I think I don’t..

At that night, I’m just going to my favorite place with my best friend, puspiptek (a place in the edges of Serpong) we just talked about our life, our desperation of 2008, our expectation, or anything.. my best friend talked to me, he would be a bigger giver in 2009,, wow,, that was so amazing,, I remind u all,, he is just a shopkeeper in alfa midi mini market,, he said even I have a little money, I hope I give more better to all, especially my mom n my little brother,,

I muse over about his statement.. I have no expectation in my new year.. I have no any plan with my whole life.. I’m just knowing that I have to get my bachelor degree quickly.. I’m just thinking about my self, even thinking about my mom.. I feel so bad in that day.. How ever he is just a shopkeeper n I was a university student.. It not means he is lower than me,, as a human being unfortunately,,

which part is wrong? It should be me more understanding about life, but he did. The egoism fills my life, n then I’ve been realized by him. Thanks my best friend,, we should be more better in this year.. I hope..

thanks you would be my best friend ever,, n be my perfect reflection all the time..

this new year without fireworks, this new year without “berbeqyu Party”..
May be this new year we are not going anywhere,, but this new year will be my best “reflecting of new year evening” in my life,, thanks..


P.S:
I'm sorry,, my english is not so good..

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS